PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN
ANAK TUNANETRA
Diajukan
untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata
Perkuliahan Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus
(BABK)
Disusun oleh:
1
|
Ai Nurhayati
|
1203322
|
2
|
Anggita Meidy S.
|
1205194
|
3
|
Hani Nur’Azizah
|
1200322
|
4
|
Mohamad Ihsan R.
|
1206625
|
5
|
Yeti Sumiyati
|
1203807
|
Kelompok 1
|
||
Kelas 3IPA
|
PROGRAM
STUDI PGSD KELAS
KAMPUS
SUMEDANG
UNIVERSITAS
PENDIDIKAN INDONESIA
2014
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur
kami panjatkan kehadirat Allah Subhanahuwata’ala. Atas rahmat, karunia dan
nikmat-Nyalah kami dapat
menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus yang
berjudul “Pendidikan dan Bimbingan
Anak Tunanetra”. Di dalam makalah ini kami membahas tentang pengertian gangguan
penglihatan (ketunanetraan), faktor-faktor penyebab ketunanetraan, perkembangan
kognitif anak tunanetra, perkembangan motorik anak tunanetra, perkembangan
emosi anak tunanetra, perkembangan sosial anak tunanetra, perkembangan
kepribadian anak tunanetra, masalah dan dampak ketunanetraan bagi keluarga,
masyarakat dan penyelenggara pendidikan.
Dalam
penyelesaiannya, kami banyak mendapatkan bantuan moral maupun materil dari
berbagai pihak yang tidak mungkin kami sebutkan satu per satu. Mudah-mudahan
segala bantuan dan kebijakan yang telah diberikan kepada kami mendapatkan
imbalan dari Allah SWT. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih
banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami
harapkan dari semua pihak. Harapan kami semoga makalah ini bermanfaat khususnya
bagi kami dan umumnya bagi para pembaca.
Sumedang, Oktober
2014
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah.................................................................................. 1
C.
Tujuan Penulisan.................................................................................... 2
D.
Sistematika Penulisan............................................................................ 2
BAB II ISI
A.
Pengertian gangguan penglihatan
(ketunanetraan) ............................... 3
B.
Faktor-faktor penyebab ketunanteraan.................................................. 4
C.
Perkembangan kognitif anak tunanetra.................................................. 7
D.
Perkembangan motorik anak tunanetra.................................................. 11
E.
Perkembangan emosi anak tunanetra..................................................... 14
F.
Perkembangan sosial anak tunanetra...................................................... 15
G.
Perkembangan kepribadian anak tunanetra........................................... 16
H.
Masalah ketunanetraan bagi keluarga, .................................................. 17
masyarakat
dan penyelenggara pendidikan
I. Dampak
ketunanetraan bagi keluarga, .................................................. 19
masyarakat dan
penyelenggara pendidikan
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................ 21
B.
Saran...................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia
merupakan makhluk paling sempurna yang diciptakan Tuhan, namun dibalik
kesempurnaan itu terdapat beberapa orang yang memiliki keterbatasan.
Keterbatasan yang dimiliki individu tidak selamanya dipandang sebagai hal yang
wajar sehingga terdapat
pihak yang berpandangan bahwa individu yang memiliki keterbatasan tidak sama
dengan individu pada umumnya yang sempurna baik fisik maupun mentalnya.
Pandangan
yang tidak mewajarkan terhadap individu yang memiliki keterbatasan terjadi pada
masa Renaissance, pada masa itu
anak yang memiliki keterbatasan fisik maupun mental diperlakukan dengan buruk
(dianggap sebagai manusia yang kerasukan roh jahat).
Seiring
dengan perkembangan zaman anak-anak yang memiliki keterbelakangan atau
kelainan, baik dalam segi fisik maupun mental telah mendapatkan perhatian dari
pemerintah, terbukti dengan dikeluarkannya Undang-Undang ABK (Anak Berkebutuhan
Khusus) termasuk di Indonesia, pada tahun 2003 diatur dalam Undang-undang Nomor
20 tentang Satuan Pendidikan Nasional Bab IV Pasal 5 Ayat 2.
Melalui
undang-undang yang berlaku di Indonesia, anak berkebutuhan khusus yang memiliki
keterbelakangan atau kelainan, baik dari segi fisik maupun mental dapat
diwadahi melalui pelayanan pendidikan yang disesuaikan atau khusus. Seperti
halnya salah satu kelainan fisik yang diderita oleh anak berkebutuhan khusus
yaitu anak yang memiliki keterbatasan penglihatan (tunanetra).
Oleh
karena itu, dalam makalah ini penyusun akan memaparkan mengenai “Pendidikan dan
Bimbingan Anak Tunanetra”.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian gangguan penglihatan (ketunanetraan)?
2. Apa
saja faktor-faktor penyebab ketunanteraan?
3. Bagaimana
perkembangan kognitif anak tunanetra?
4. Bagaimana
perkembangan motorik anak tunanetra?
5. Bagaimana
perkembangan emosi anak tunanetra?
6. Bagaimana
perkembangan sosial anak tunanetra?
7. Bagaimana
perkembangan kepribadian anak tunanetra?
8. Apa
saja masalah ketunanetraan bagi keluarga, masyarakat dan penyelenggara
pendidikan?
9. Apa
saja dampak ketunanetraan bagi keluarga, masyarakat dan penyelenggara
pendidikan?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Mengetahui
pengertian gangguan penglihatan (ketunanetraan).
2. Mengetahui
faktor-faktor penyebab ketunanteraan.
3. Mengetahui
perkembangan kognitif anak tunanetra.
4. Mengetahui
perkembangan motorik anak tunanetra.
5. Mengetahui
perkembangan emosi anak tunanetra.
6. Mengetahui
perkembangan sosial anak tunanetra.
7. Mengetahui
perkembangan kepribadian anak tunanetra.
8. Mengetahui
masalah ketunanetraan bagi keluarga, masyarakat dan penyelenggara pendidikan.
9. Mengetahui
dampak ketunanetraan bagi keluarga, masyarakat dan penyelenggara pendidikan.
D.
Sistematika
Penulisan
Penulisan
ini dimulai dengan pembuatan cover, kata pengantar, daftar isi, bab I yang
terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, dan sistematika
penulisan, dilanjutkan dengan bab II yang membahas materi “Pendidikan dan Bimbingan
Anak Tunanetra”,
bab III berisi kesimpulan dan saran, daftar pustaka dan diakhiri dengan lampiran.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Gangguan Penglihatan (Ketunanetraan)
Kamus
lengkap bahasa Indonesia (Wardani, 2011) memaparkan “Tunanetra berasal dari 2
kata, yaitu tuna dan netra, tuna berarti tidak memiliki, tidak punya, luka atau
rusak, sedangkan netra berarti penglihatan sehingga tunanetra berarti tidak memiliki
atau rusak penglihatan.”
Tunanetra
digunakan untuk menggambarkan tingkatan kerusakan atau gangguan penglihatan
yang berat sampai pada yang sangat berat, yang dikelompokan secara umum menjadi
buta dan kurang lihat. Jadi, tunanetra
tidak hanya mereka yang buta saja melaikan mereka yang mampu melihat tetapi
penglihatannya sangat kurang dan terbatas sekali sehingga tidak bisa digunakan
atau dimanfaatkan untuk kegiatan pembelajaran seperti halnya orang awas biasa.
Dalam hal ini adalah kedua-duanya (indra penglihatanya) tidak dapat berfungsi
dengan baik.
Secara
pengertian, mereka yang mengalami kerusakan indra penglihatanyya tergolong
tunanetra. Akan tetapi, individu yang disebut sebagai tunanetra dalam hal ini
ialah mereka yang tak mampu atau tidak dapat memanfaatkan indra penglihatannya
secara optimal untuk kegiatan pembelajaran, sehingga perlu penanganan atau
layanan yang khusus
(berkebutuhan khusus).
Menurut Hidayat (2006) “Anak
tunanetra adalah anak yang mengalami penyimpangan atau kelainan indera
penglihatan baik bersifat berat maupun ringan, sehingga memerlukan pelayanan
khusus dalam pendidikannya untuk dapat mengembangkan potensinya seoptimal
mungkin.”
Efendi (2006) menggambarkan anak tunanetra sebagai:
Orang
tunanetra sebagai orang yang memiliki klasifikasi kerja mata tidak normal:
bayangan benda yang ditangkap oleh mata tidak dapat diteruskan oleh kornea,
lensa mata, retina, dan saraf karena suatu sebab, misalnya kornea mata mengalami
kerusakan, kering keriput, lensa mata menjadi keruh, atau saraf yang
menghubungkan mata dengan otak mengalami gangguan.
Klasifikasi anak dengan gangguan penglihatan menurut
Somantri (2012: 65), yaitu:
Dalam
bidang pendidikan luar biasa, anak dengan gangguan penglihatan tidak saja
mereka yang buta, tetapi mencakup juga mereka yang mampu melihat tapi terbatas.
Anak-anak dengan gangguan penglihatan ini dapat diketahui dalam kondisi
berikut:
1. Ketajaman
penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang awas,
2. Terjadi
kekeruhan pada mata atau terdapat cairan tertentu,
3. Posisi
mata sulit dikendalikan oleh syaraf otak, dan
4. Terjadi
kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan penglihatan.
Karakteristik anak tunanetra menurut
Somantri (2012: 66), yaitu:
Dikatakan tunanetra bila ketajaman
penglihatannya kurang dari 6/21. Artinya, berdasarkan tes, anak hanya mampu
membaca huruf pada jarak 6 meter yang oleh orang awas dapat dibaca pada jarak
21 meter yang diukur dengan tes snellen
card.
Berdasarkan acuan tersebut, anak
tunanetra dikelompokan menjadi 2 macam, yaitu:
1. Buta jika
anak tidak mampu menerima rangsangan cahaya dari luar (visusnya = 0).
2. Low vision jika anak masih
mampu menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih dari
6/21, atau jika anak hanya mampu membaca headline
pada suarat kabar.
Dari
pengertian yang disampaikan para ahli, dapat disimpulkan bahwa gangguan
penglihatan (ketunanetraan) merupakan suatu keterbatasan penglihatan yang
dialami individu baik itu hanya berupa penglihatan terbatas maupun buta total
yang mengakibatkan dirinya membutuhkan pelayanan dan pendidikan yang khusus
agar perkembangan kognitif, motorik, emosi, sosial dan kepribadian penderita
dapat terus berkembang optimal.
B.
Faktor-faktor
Penyebab Ketunanetraan
Menurut Efendi (2006) “Penyebab tunanetra
terjadi karena adanya faktor endogen (keturunan) dan eksogen (penyakit,
kecelakaan dan lain-lain). Pada tahun 1950, banyak penderita tunanetra
disebabkan oleh retrolenta fibroplasia (RLF)/
banyaknya bayi lahir prematur.”
Faktor-faktor
penyebab ketunanetraan dijelaskan Wardani (2011), yaitu:
1.
Faktor internal timbul dalam
diri individu (keturunan)
Faktor internal merupakan faktor yang timbul dari
dalam individu itu sendiri (intern),
yakni sifat genetik yang di bawa individu akibat hasil persilangan yang salah
karena terjadi atau terdapat beberapa kelainan, sehingga beberapa fungsi
organ-organ tubuh akibat persilangan gen yang salah akan mengakibatkan
terganggunya atau menjadi tidak dapat berfungsinya organ-organ tersebut dengan
semestinya (tidak optimal). Faktor
ini kemungkinan besar terjadi pada perkawinan antar keluarga dekat dan
perkawinan antar tunanetra. Karena didalam keluarga memiliki kesamaan gen satu
sama lainnya yang memungkinkan gen-gen tersebut membawa sifat suatu penyakit
atau kecacatan tertentu. Biasanya gen ini tidak tampak (resesif), namun apabila
gen-gen ini (gen pembawa sifat kelainan) tercampur dengan gen yang sehat dan
dominan, maka gen pembawa sifat penyakit yang ada akan menjadi tampak.
Begitupula dengan perkawinan antar atau salah satu penderita tunanetra yang
membawa gen akan mewariskan sifat genetiknya.
Pada umumnya faktor keturunan terdapat
pada inti sel dalam bentuk kromosom yang berjumlah 23 pasang, kromosom ini
terdiri dari zat yang kompleks yang dinamakan DNA. DNA membentuk gen-gen yang
merupakan pembawa sifat bagi setiap karakteristik dalam tubuh. Apabila terjadi
kelainan genetik sebagai akibat keturunan dari kedua orang tua atau salah satu
maka gen-gen inilah yang intinya akan diturunkan pada generasi berikutnya
(Anastasia Widjajantin & Imanuel Hitipeuw, 1996:22).
2. Faktor
eksternal berasal dari luar individu
Faktor eksternal merupakan faktor yang datang dari
luar individu itu sendiri. faktor eksternal juga mempunyai pengaruh yang sangat
besar terhadap penyebab terjadinya ketunanetraan. Faktor-faktor ini bisa saja
timbul karena kecelakaan atau terserang suatu
penyakit.
Penyebab ketunanetraan menurut Wardani (2011) yang
dikelompokkan pada faktor eksternal, antara lain:
a. Penyakit
rubella dan syphilis
Rubella (campak Jerman) merupakan suatu penyakit yang disebabkan
oleh virus yang sering berbahaya dan sulit didiagnosis secara klinis. Jika
seorang ibu terkena rubella pada usia kehamilan 3 bulan pertama maka virus
tersebut dapat merusak pertumbuhan sel-sel pada janin dan merusak jaringan pada
mata, telinga, atau organ lainnya sehingga kemungkinan besar anaknya lahir
tunanetra atau tunarungu atau berkelainan lainnya.
Penyakit syphilis menyerang alat
kelamin, jika terjadi pada ibu hamil maka penyakit tersebut akan merambat
kedalam kandungan sehingga dapat menimbulkan kelainan pada bayi.
b. Glaukoma
Glaukoma merupakan suatu kondisi dimana
terjadi tekanan yang berlebihan pada bola mata. Hal ini terjadi karena struktur
bola mata yang tidak sempurna pada pembentukannya dalam kandungan. Kondisi ini
ditandai dengan pembesaran pada bola mata, kornea menjadi keruh, banyak
mengeluarkan air mata, dan merasa silau.
c. Retinopati
diabetes
Retinopati diabetes merupakan kondisi
yang disebabkan oleh adanya gangguan dalam aliran darah pada retina. Kondisi
ini disebabkan oleh adanya penyakit diabetes.
d. Retinoblastoma
Retinoblastoma merupakan tumor ganas
yang terjadi pada retina dan sering ditemukan pada anak-anak. Gejala yang dapat
dicurigai dari penyakit tersebut, antara lain menonjolnya bola mata, adanya
bercak putih pada pupil, juling, glaukoma, mata sering merah, atau
penglihatannya terus menurun.
e. Kekurangan
vitamin A
Kekurangan vitamin A menyebabkan
kerusakan pada sensitivitas retina terhadap cahaya dan terjadi kekeringan pada konjungtiva bulbi yang terdapat pada
celah kelopak mata, disertai pengerasan dan penebalan pada epitel. Pada saat
mata bergerak akan tampak lipatan pada konjungtiva
bulbi. Dalam keadaan parah, hal tersebut dapat merusak retina dan apabila
keadaan ini dibiarkan akan terjadi ketunanetraan.
f. Terkena
zat kimia
Zat kimia seperti etanol dan aseton
apabila mengenai kornea akan mengakibatkan kering dan terasa sakit. Asam sulfat
dan asam tannat yang mengenai kornea akan menimbulkan kerusakan.
g. Kecelakaan
Benturan keras mengenai saraf mata atau
tekanan yang keras terhadap bola mata.
Secara klinis, tunanetra kecil
sekali kemungkinannya untuk disembuhkan, meskipun ada hal semacam operasi mata,
namun ini sering kali sulit untuk berhasil karena adanya penolakan dari tubuh.
Oleh karena itu, hal yang dapat dilakukan ialah mencegah terjadinya tunanetra
yaitu menghindari faktor-faktor yang sekiranya dapat dihindari seperti menjaga
untuk memberi suplai makanan yang bergizi selama masa kehamilan, menghindari
kesalahan dalam persilangan gen dengan tidak mengawini saudara yang dekat,
serta menjaga hal-hal lainnya seperti kecelakaan fisik maupun kimiawi lainnya.
C.
Perkembangan
Kognitif Anak Tunanetra
Menurut
Somantri (2012: 67) “Indera penglihatan ialah
salah satu indera penting dalam menerima informasi yang datang dari luar
dirinya.”
Setiap manusia membutuhkan indera penglihatan untuk mengamati objek atau
untuk memperoleh suatu informasi yang berada di lingkungan sekitarnya. Melalui
indera penglihatan, manusia akan memperoleh pengetahuan dari lingkungan
sekitarnya dengan jelas, karena dengan indera penglihatan sesuatu yang bersifat abstrak dapat
digambarkan secara konkrit. Sehingga informasi yang perolehnya dapat lebih
cepat dan mudah dipahami.
“Anak
tunanetra memiliki keterbatasan atau bahkan ketidakmampuan dalam menerima
rangsang atau informasi dari luar dirinya melalui indera penglihatannya”, Somantri (2012: 68).
Seseorang yang mengalami tunanetra tidak dapat menafsirkan suatu objek atau
benda dengan sempurna. Biasanya seseorang yang mengalami tunanetra menafsirkan
suatu objek atau benda dengan menggunakan indera-indera yang lain, seperti
indera peraba, pembau, dan pengecap, terutama indera yang sering digunakan
yaitu, indera pendengaran. Dalam hal ini, proses memperoleh informasinya dengan
mendengarkan dari orang lain, yaitu secara lisan (ucapan), sehingga hanya dapat
melukiskan sesuatu objek atau benda dengan arahnya, ukurannya, dan tempat objek
itu berada.
Menurut Somantri (2012: 68) “Bagi tunanetra setiap bunyi yang didengarnya, bau
yang diciumnya, kualitas kesan yang dirabanya, dan rasa yang dicecapnya
memiliki potensi dalam pengembangan kemampuan kognitifnya.”
Menurut Somantri (2012: 69) “Pada anak tunanetra,
kemampuan kosakata terbagi atas dua golongan, yaitu kata-kata yang berarti bagi dirinya berdasarkan pengalamannya
sendiri dan kata-kata verbalistis yang diperolehnya dari
orang lain yang ia sendiri sering tidak memahaminya.”
Dengan kata lain, anak tunanetra tidak akan dapat mendefinisikan sesuatu
secara kongkrit, berbeda dengan anak normal yang dapat mendefinisikan sesuatu
secara kongkrit. Ketika anak normal dapat mendefinisikan sesuatu secara
kongkret, maka anak tersebut dapat memahaminya secara utuh. Sedangkan anak
tunanetra tidak mampu memahami dengan sempurna, bahkan tidak memahami sama
sekali, karena ketidakmampuan untuk mengamati objek secara konkret, melainkan
hanya secara abstrak.
Menurut Piaget (Somantri, 2012: 70) perkembangan fungsi kognitif, yaitu:
Perkembangan
fungsi kognitif berlangsung mengikuti prinsip mencari keseimbangan (seeking equilibrium), yaitu kegiatan
organisme dan lingkungan yang bersifat timbal balik, artinya
lingkungan dipandang sebagai suatu hal yang terus menerus mendorong organisme
untuk menyesuaikan diri, dan demikian pula scecara timbal balik organisme
secara konstan menghadapi lingkungannya sebagai suatu struktur yang merupakan
bagian darinya.
Prinsip mencari keseimbangan itu dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
asimilasi dan akomodasi. Asimilasi, yaitu jika seseorang yang menemukan suatu
hal baru dapat dengan mudah diterima sesuai dengan pola pikir yang telah
dimiliki sebelumnya. Sedangkan akomodasi, yaitu jika seseorang yang menemukan
suatu hal baru tidak dapat menyesuaikan dengan pola pikir yang telah dimiliki
sebelumnya, sehingga harus adanya suatu
perubahan mengenai hal yang baru tersebut. Anak tunanetra akan mengalami
hambatan dalam perkembangan kognitifnya, karena perkembangan kognitif harus
dibarengi dengan panca indera yang lengkap terutama indera penglihatan. Dari
indera penglihatan tersebut dapat mengamati objek yang ada di lingkungan
sekitarnya, sehingga informasi yang perolehnya secara utuh. Akan tetapi, pada
anak tunanetra hanya mampu menggunakan indera pendengaran, perabaan, pengecap,
dan pembau untuk memperoleh informasi dari lingkungannya, sehingga informasi
yang diperolehnya tidak secara lengkap atau tidak mampu melakukan pengamatan di
lingkungan sekitarnya, serta anak tunanetra mengalami ketidakpahaman mengenai
informasi yang diperolehnya, karena tidak mampu melihat. Meskipun banyak
hambatan yang dihadapinya, tetapi anak tunanetra dapat dibantu oleh orang awas
dengan berbagai cara atau metode.
Tahapan-tahapan perkembangan perilaku kognitif dibagi menjadi dua bagian,
yaitu tahapan secara kulalitatif dan secara kuantitatif.
Menurut Somantri (2012: 71-73) tahapan-tahapan perkembangan perilaku
kognitif secara kualitatif, yaitu:
1. Pada
tahapan sensorimotor yang ditandai dengan penggunaan sensori-motorik dalam
pengamatan dan penginderaan yang instensif terhadap dunia sekitarnya, pada anak
tunanetra prestasi intelektual dalam perkembangan bahasa mungkin bukan masalah
besar, asal lingkungan memberikan stimuli yang kuat dan intensif terhadap anak.
Tanpa stimuli tersebut bukan tidak mungkin perkembangan bahasa anak juga
terhambat karena pengamatan visual juga merupakan faktor penting dalam
menumbuhkembangkan bahasa anak. Sedangkan prestasi intelektual dalam konsep
tentang objek, kontrol skema, dan pengenalan hubungan sebab akibat jelas akan
mengalami kelambatan.
Menurut Piaget (Choirul Anam, 1985;
Somantri, 2012:71) pada tahapan praoperasional,
dibandingkan anak normal, anak tunanetra akan mengalami kelambatan sekitar 6
bulan.
2. Tahapan pra-operasional yang ditandai dengan cara berpikir yang bersifat
transduktif (menarik kesimpulan tentang sesuatu yang khusus atas dasar hal yang
khusus; sapi disebut kerbau), dominasi pengamatan yang bersifat egosentris
(belum memahami cara orang memandang objek yang sama), serta besifat searah,
anak tunanetra cenderung mengalami hambatan atau kesulitan dalam cara-cara
berpikir seperti itu. Ketidakmampuannya dalam menggunakan indera penglihatan
sebagai saluran informasi cenderung mengakibatkan kesulitan dalam belajar
mengklasifikasikan objek-objek atas dasar satu ciri yang mencolok (menonjol)
atau kriteria tertentu. Anak mungkin dapat melakukan klasifikasi atas dasar
ciri-ciri yang menonjol berdasarkan hasil dari proses pendengaran, perabaan,
penciuman, atau pengecapan, walaupun semua itu tergantung pada ada tidaknya
suara, terjangkau tidaknya oleh tangan, ada tidaknya bau serta rasa. Sedangkan
klasifikasi yang berhubungan dengan bentuk, keluasaan/kedalaman, atau warna
cenderung sulit atau bahkan tidak dapat dilakukan. Dengan demikian secara
berkeseluruhan pada tahap ini anak juga akan mengalami keterlambatan, yang
menurut Piaget (Choirul Anam, 1985; Somantri, 2012:72) kalau dibandingkan dengan anak yang normal, maka keterlambatan
tersebut sekitar dua bulan.
3. Pada
tahapan praoperasional konkret yang ditandai dengan kemampuan anak dalam
mengklasifikasikan, menyusun, mengasosiasikan angka-angka atau bilangan, serta
proses berpikir, walaupun masih terikat dengan objek-objek yang bersifat
konkrit, anak tunanetra dapat mengoperasikan kaidah-kaidah logika dalam
batas-batas tertentu, namun secara umum hal ini akan sulit dilakukan. Ini
disebabkan oleh sistem organisasi kognitif sebelumnya yang mutlak diperlukan
dalam cara-cara seperti diatas tidak terorganisasi secara utuh pada anak
tunanetra.
4. Pada
tahapan praoperasional formal yang ditandai dengan kemampuan untuk mengoperasikan
kaidah-kaidah formal yang tidak terikat lagi dengan objek-objek yang bersifat
konkret, seperti kemampuan berfikir hipotesis deduktif (hypotheic deductive thinking), mengembangkan suatu kemungkinan
berdasar dua atau lebih kemungkinan (acombination
thinking), proposional thinking,
serta kemampuan menarik generalisasi dan inferensi tertentu mungkin dapat
melakukan dengan baik walaupun sifatnya sangat verbalitas. Hal ini karena dalam
pemikiran operasional formal berawal dari kemungkinan-kemungkinan yang
hipotetik dan teoritik dan bukan berawal dari hal-hal yang nyata. Namun
demikian, karena dalam perkembangan kognitif ini sifatnya hierarkis, artinya
tahapan sebelumnya akan menjadi dasar bagi berkembangnya tahapan berikutnya,
pencapaian tahapan operasi lain yang menghambat ialah kurangnya pengalaman yang
luas yang disebabkan oleh terbatasnya jenis informasi yang dapat diterima serta
keterbatasannya dalam orientasi dan mobilitas.
Anak tunanetra mengalami tahapan-tahapan perkembangan
kognitif, akan tetapi anak tunanetra mempunyai keterlambatan dalam mengalami
tahapan-tahapan tersebut, sehingga anak tunanetra tidak akan sama dengan anak
normal dalam mengalami tahapan-tahapan perkembangan tersebut.
Menurut Somantri (2012: 74) “Apabila ditinjau
secara kuantitatif, perkembangan fungsi-fungsi kognitif anak tunanetra
tampaknya sulit untuk diidentifikasi.”
Kesulitan mengidentifikasi pada
anak tunanetra tersebut karena banyaknya alat-alat tes inteligensi yang tidak
dapat dioptimalkan oleh anak tunanetra.
Kecerdasan anak tunanetra menurut
Kirley, 1975 (Somantri, 2012:75), yaitu:
Berdasarkan
tes intelegensi dengan menggunakan Hayes-Bines
Scale ditemukan bahwa rentang IQ anak tunanetra berkisar antara 45-160,
dengan ditribusi 12,5% memiliki IW kurang dari 80, kemudian tunanetra cenderung
memiliki rata-rata skor comprehension
subtest yang lebih rendah daripada rata-rata pada skor subtes lainnya.
Menurut Salsabila (2013) untuk meningkatkan kemampuan
kognitif anak difasilitasi dengan:
Kemampuan kognitif
penderita tunanetra dapat dioptimalkan melalui fasilitas, seperti bacaan dan
tulisan Braille, keyboarding, alat bantu menghitung/calculation aids, mesin baca Kurzweil,
buku bersuara/talking book, komputer,
latihan orientasi dan mobilitas, menggunakan pemandu, tongkat pemandu dan
kemampuan diri dalam melakukan aktivitas.
D.
Perkembangan
Motorik Anak Tunanetra
Perkembangan motorik anak
tunanetra dijelaskan Somantri (2012: 76):
Perkembangan motorik anak tunanetra cenderung lambat
dibandingkan dengan anak awas pada umumnya, karena dalam perkembangan
perilaku motorik diperlukan adanya koordinasi fungsional antara neuromuscular system (sistem persyarafan
dan otot) dan fungsi psikis (kognitif, afektif, dan konatif), serta kesempatan
yang diberikan oleh lingkungan. Fungsi neuromuscular
system tidak bermasalah tetapi fungsi psikisnya kurang mendukung serta
menjadi hambatan tersendiri dalam perkembangan motoriknya. Secara fisik,
mungkin anak mampu mencapai kematangan sama dengan anak awas pada umumnya,
tetapi karena fungsi psikisnya (seperti pemahaman terhadap realitas lingkungan,
kemungkinan mengetahui adanya bahaya dan cara menghadapi, keterampilan gerak
yang serba terbatas, serta kurangnya keberanian dalam melakukan sesuatu)
mengakibatkan kematangan fisiknya kurang dapat dimanfaatkan secara maksimal
dalam melakukan aktivitas motorik. Hambatan dalam fungsi psikis ini secara
langsung atau tidak langsung terutama berpangkal dari ketidakmampuannya dalam
melihat.
Hambatan fisik dan psikis pada anak tunanetra nantinya akan menghambat pada
setiap tahap perkembangan anak tunanetra.
Menurut Somantri
(2012: 76) perkembangan motorik anak tunanetra, yaitu:
Bagi anak awas, mungkin sangat mudah
melakukan sesuatu aktivitas motorik. Namun bagi anak tunanetra, hal ini adalah
masalah besar. Anak hanya akan tahu segala hal hanya dengan dideteksi oleh
tangan, kaki atau indera pendengaran dan penciumannya. Hambatan inilah yang
pada akhirnya seorang tunanetra mengalami masalah besar dalam orientasi dan
mobilitasnya.
Hal
ini pula yang menjadikan anak tunanetra terlambat berkembang dibandingkan anak
awas pada umumnya.
Menurut Somantri
(2012: 76-80) perkembangan perilaku motorik anak tunanetra, yaitu:
Perkembangan perilaku motorik yang
baik juga menuntut dua macam perilaku psikomotorik dasar yang bersifat
universal harus dikuasai oleh individu pada masa bayi atau awal masa
kanak-kanak, yaitu berjalan, dan memegang benda. Kedua macam perilaku
psikomotorik ini akan menjadi dasar bagi keterampilan motorik yang lebih
kompleks, seperti bermain dan bekerja. Bagi anak tunanetra, penguasaan perilaku
psikomotorik dasar seperti berjalan dan memegang benda ini bukanlah pekerjaan
yang mudah, ini menjadi hambatan bagi penguasaan keterampilan motorik lebih
lanjut yang bersifat kompleks.
Pada
bayi tunanetra perlu diperhatikan upaya-upaya untuk melengkapi kekurangan
rangsangan visualnya. Sebagai gambaran, berikut ini adalah tahap perkembangan
perilaku motorik permulaan dalam kaitannya dengan fungsi penglihatan.
1.
Tahap Sebelum
Berjalan
Anak
tunanetra juga mengikuti pola perkembangan motorik yang sama seperti
perkembangan bayi normal yaitu untuk sampai ke tahap berjalan, harus melalui
tahapan menegakan kepala, telungkup, merayap, merangkak dan seterusnya namun
hanya saja faktor kecepatannya yang berbeda akibat dari kurangnya rangsangan
visual. Gangguan atau hambatan yang terjadi dalam perkembangan koordinasi
tangan dan koordinasi badan akan berpengaruh pada perilaku motorik tunanetra
dikemudian hari (setelah dewasa).
a.
Koordinasi
Tangan
Pada
usia 16 minggu bayi tunanetra tidak mengalami secara alamiah koordinasi tangan
yang baik yang diperoleh dari pengalaman dan percobaan kerjasama mata dan
tangan seperti bayi normal. Karena mereka tidak mengetahui apa yang ada di
sekelilingnya, bayi tunanetra cenderung tidak responsif dan diam. Maka dari itu
perlu diciptakan suatu lingkungan tersendiri sebagai pengalaman pengganti yang
mampu merangsang perkembangan gerak tunanetra sekaligus mengurangi
keterlambatan ini. Hambatan dalam perkembangan koordinasi tangan ini akan
berpengarup pada berbagai aktivitas kemudian seperti dalam jabat tangan yang
lemah, kesulitan memegang benda, serta kelambatan dalam membaca huruf Braille.
b.
Koordinasi
Badan
Pada
usia 18 minggu koordinasi badan bayi tunanetra tidak mengalami kesempatan atau
peristiwa secara alami seperti bayi normal. Oleh karena itu tanpa adanya
pengalaman pengganti tidak mungkin anak akan termotivasi untuk melakukan
aktivitas seperti menegakan kepala, menatap, merayap, meraih, memegang, atau
mengambil. Bayi tunanetra cenderung diam atau mengadakan gerakan-gerakan yang
kurang berarti disebut dengan blindism,
seperti menusuk-nusuk mata dengan jarinya, mengangguk-anggukkan kepala,
menggoyang-goyangkan kaki atau sejenisnya. Tanpa disadari kebiasaan terhadap
gerakan ini biasanya terbawa sampai dewasa.
2.
Tahap Berjalan
Pada
usia sekitar 15 bulan, kemungkinannya dapat bergerak sama dengan anak awas. Ia
akan berjalan pada usia yang lebih tua dari usia anak awas. Hal tersebut,
terjadi karena kurangnya motivasi atau pendorong baik yang sifatnya internal
maupun eksternal untuk melangkahkan kakinya pada posisi berdiri mengambil benda
yang ada disekitarnya. Anak tunanetra merasakan apa yang ada didepannya adalah
bahaya karena ia tidak tahu persis apa yang ada dan terjadi didepannya. Ia
tidak mampu mengidentifikasi melalui indra penglihatannya segala objek atau
peristiwa yang ada di depannya. Ia hanya mampu mengidentifikasi sebagian objek
atau peristiwa yang ada disekitarnya sepanjang hal tersebut memberikan
tanda-tanda yang dapat di identifikasi di luar indra penglihatannya. Keterbatasan
ini disamping karena faktor-faktor diatas juga karena anak tunanetra tidak
pernah mendapatkan kesempatan untuk melakukan observasi visual secara langsung
terhadap suatu gerakan yang dilakukan orang lain sehingga ia tidak mampu pula dalam
meniruka sesuatu gerakan seperti halnya anak awas. Kesempatan dari lingkungan
yang diberikan kepada anak juga seringkali menghambat perkembangan perilaku
motorik anak tunanetra. Sikap over protection, tak acuh, serta salah
pengertian tentang kebutuhan, mengakibatkan keterbatasan anak dalam memperoleh
pengalaman-pengalaman dan keterampilan-keterampilan motorik tertentu. Namun
yang pasti bahwa kurangnya atau ketidak mampuannya menerima rangsang visual
mengakibatkan anak tidak mampu mengobservasi atau menirukan gerak-gerak motorik
tertentu, akibatnya perkembangan menjadi terhambat.
Menurut Mestika “Pergerakan
motorik anak tunanetra yang sudah dapat berjalan dapat dilatih dengan olahraga
yang dilakukan untuk saluran penghubung kualitas hidup melalui sarana bantu
atletik lari dengan sistem kerja line
follower.”
Menurut Rudiyati (2009) “Selain
melakukan olahraga dapat pula diberikan kepekaan non-visual untuk melatih
perkembangan motorik penderita tunanetra melalui kegiatan latihan kepekaan
pendengaran, latihan kepekaan taktual, latihan kepekaan pembau, latihan
kepekaan pencecap, latihan kinestetik dan latihan keseimbangan/vestabula.”
E.
Perkembangan
Emosi Anak Tunanetra
Menurut
Somantri (2012: 80-83)
perkembangan emosi anak tunanetra digambarkan sebagai:
Perkembangan emosi anak tunanetra akan
sedikit mengalami hambatan dibandingkan dengan anak yang awas. Keterlambatan
ini terutama disebabkan oleh keterbatasan kemampuan anak tunanetra dalam proses
belajar. Pada awal masa kanak-kanak, anak tunanetra mungkin akan melakukan
proses belajar mencoba-coba untuk menyatakan emosinya, namun hal ini tetap
dirasakan tidak efisien karena dia tidak dapat melakukan pengamatan terhadap
reaksi lingkungannya secara tepat. Akibatnya pola emosi yang ditampilkan
mungkin berbeda atau tidak sesuai yang diharapkan oleh diri maupun lingkungannya.
Kesulitan bagi anak tunanetra ialah ia
tidak mampu belajar secara visual tentang stimulus-stimulus apa saja yang harus
diberikan terhadap stimulus-stimulus tersebut. Dengan kata lain anak tunanetra
memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi secara emosional melalui ekspresi
atau reaksi-reaksi wajah atau tubuh lainnya untuk menyampaikan perasaan yang
dirasakannya kepada orang lain.
Perkembangan emosi anak tunanetra akan
semakin terhambat apabila mengalami deprivasi emosi, yaitu kurang memiliki
kesempatan untuk menghayati pengalaman emosi yang menyenangkan seperti kasih
sayang, kegembiraan, perhatian dan kesenangan. Anak yang
mengalami deprivasi emosi ini adalah anak-anak yang pada masa awal kehidupan atau
perkembangannya ditolak kehadirannya oleh keluarga atau lingkungannya.
Deprivasi emosi ini akan sangat berpengaruh terhadap aspek perkembangan lainnya
seperti kelambatan dalam perkembangan fisik, motorik, bicara, intelektual, dan
sosialnya.
Masalah-masalah lain yang sering muncul
dan dihadapi dalam perkembangan emosi anak tunanetra ialah gejala-gejala emosi
yang tidak seimbang atau pola-pola emosi yang negatif dan berlebihan seperti
perasaan takut, malu, khawatir, cemas, mudah marah, iri hati, serta kesedihan
yang berlebihan.
Perasaan takut yang berlebihan pada anak
tunanetra biasanya berhubungan ketidakmampuannya dalam melihat mengakibatkan ia
tidak mampu mendeteksi secara tepat kemungkinan-kemungkinan bahaya yang
mengancam keselamatannya. Sedangkan perasaan khawatir dan cemas seringkali
menghinggapi anak tunanetra sebagai akibat dari ketidakmampuan atau
keterbatasan dalam memprediksikan dan mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan
yang terjadi di lingkungannya dan menimpa dirinya. Sedangkan perasaan iri hati
biasanya muncul karena kurang atau hilangnya kasih sayang dari lingkungannya.
Biasanya tumbuh dan berkembang dari reaksi lingkungan terhadap dirinya yang
ternyata diperlakukan secara berbeda karena tunanetra nya.
Jadi
perkembangan emosi anak tunanetra harus ditangani dengan tepat agar tidak
terjadi deprivasi emosi melalui kasih saying, kegembiraan, perhatian dan
kesenangan dari keluarganya. Memberikan motivasi yang lebih agar anak tunanetra
tidak memiliki rasa takut, malu, khawatir, cemas, mudah marah, iri hati, serta
kesedihan yang berlebihan.
F.
Perkembangan
Sosial Anak Tunanetra
Perkembangan sosial anak tunanetra dijelaskan Somantri (83-85), yaitu:
Hambatan-hambatan muncul pada anak tunanetra sebagai akibat langsung maupun tidak
langsung dari ketunanetraan, yaitu kurangnya motivasi, kekuatan menghadapi
lingkungan sosial, perasaan rendah diri, malu, penolakan masyarakat,
penghinaan, sikap tak acuh, ketidak jelasan tuntutan sosial, terbatasnya
kesempatan belajar tentang pola tingkah laku yang diterima merupakan
kecenderungan tunanetra yang dapat mengakibatkan perkembangan sosialnya menjadi
terhambat.
Pengalaman sosial anak tunanetra pada
usia dini yang tidak menyenangkan sebagai akibat dari sikap dan perlakuan
negatif orang tua dan keluarganya akan sangat merugikan perkembangan anak
tunanetra. Hal ini karena usia tersebut merupakan masa-masa kritis dimana
pegalaman-pengalaman dasar sosial yang trbentuk pada masa itu akan sulit untuk
diubah dan terbawa sampai ia dewasa. Untuk menghindari kemungkinan terjadinya
penyimpangan-penyimpangan dalam perkembangan sosial anak tunanetra, sikap dan
perlakuan orang tua serta keluarga tunanetra nampaknya harus menjadi perhatian
terutama pada usia dini.
Masa sosialisasi yang sesungguhnya akan
terjadi pada saat anak memasuki lingkungan pendidikan kedua, yaitu sekolah.
Pada masa ini anak akan dihadapkan pada berbagai aturan dan disiplin serta
penghargaan terhadap orang lain. Bagi anak tunanetra, memasuki sekolah atau
lingkungan yang baru adalah saat-saat yang kritis, apalagi ia sudah merasakan
dirinya berbeda dengan orang lain yang tentunya akan mengundang berbagai reaksi
tertentu yang mungkin menyenangkan atau sebaliknya. Ketidaksiapan mental anak
tunanetra dalam memasuki sekolah atau lingkungan baru atau kelompok lain yang berbeda
atau lebih luas seringkali mengakibatkan anak tunanetra gagal dalam
mengembangkan kemampuan sosialnya.
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa
bagaimana perkembangan sosial anak tunanetra sangat bergantung pada bagaimana
perlakuan dan penerimaan lingkungan terutama lingkungan keluarga terhadap anak
tunanetra itu sendiri. Akibat ketunanetraan secara langsung atau tak langsung,
akan berpengaruh terhadap perkembangan sosial anak seperti keterbatasan anak
untuk belajar social melalui identifikasi maupun imitasi, keterbatasan
lingkungan yang dapat dimasuki anak untuk memenuhi kebutuhan sosialnya, serta
adanya faktor-faktor psikologis yang menghambat keinginan anak untuk memasuki
lingkungan sosialnya secara bebas dan aman.
Jadi
perkembangan sosial anak tunanetra harus didukung oleh lingkungan keluarga
melalui hal-hal positif agar termotivasi hidupnya dan memberikan peluang besar
untuk diterima di lingkungan masyarakat seperti kesempatan belajar,
berinteraksi secara normal dan diterima layaknya anak normal.
G.
Perkembangan
Kepribadian Anak Tunanetra
Pada hakikatnya perkembangan apapun mengenai anak tunanetra sangat
bergantung pada orang yang menanganinya.
Jika anak tunanetra didukung dan dipercaya untuk melakukan kegiatan yang
positif maka perkembangannya pun akan bermakna.
Sebagai orang terdekat, orang tua dan keluarga sangat berperan dalam
perkembangan segala aspek anak tunanetra sehingga dianjurkan bahkan diharuskan
pihak-pihak ini memberi dorongan/ motivasi, terus secara continue memberi semangat dan memberikan input yang dapat
menimbulkan perkembangan positif bagi anak tunanetra termasuk dalam
perkembangan kepribadian sehingga anak tunanetra dapat menyadari, mengenali dan
memiliki konsep diri.
Davis
(Kirtley, 1975; Somantri, 2012: 85-86)
menyatakan mengenai proses perkembangan
awal anak tunanetra, yaitu:
Dalam
proses perkembangan awal, diferensiasi konsep diri merupakan sesuatu yang sulit
untuk dicapai sehingga untuk memasuki lingkungan baru, seorang anak tunanetra
harus dibantu oleh ibu atau orang tuanya melalui komunikasi verbal, memberikan
semangat dan memberikan gambaran lingkungan tersebut sejelas-jelasnya seperti
anak tunanetra mengenal tubuhnya sendiri.
Pada pembahasan
konsep diri disampaikan pula 3 aspek yang terdapat di dalamnya menurut Callhoun dan
Acocella (Ghufron dan Risnawati, 2011; Fitriyah, 2013), yaitu:
1. Pengetahuan
merupakan apa yang individu ketahui tentang dirinya. Di
dalam benaknya terdapat satu daftar yang menggambarkan dirinya, kelengkapan
atau kekurangan fisik, usia, jenis kelamin, kebangsaan, suku, pekerjaan, agama
dan lain-lain.
2. Harapan
digambarkan sebagai suatu aspek dimana seseorang memandang tentang dirinya,
kemungkinan dirinya menjadi apa di masa depan.
3. Penilaian,
individu berkedudukan sebagai penilai tentang dirinya sendiri.
Menurut Somantri (2012: 86) “Anak
tunanetra setengah akan mengalami kesulitan menemukan konsep diri yang lebih
besar daripada anak yang buta total karena mereka sering mengalami konflik
identitas di mana suatu saat oleh lingkungannya disebut anak awas tapi pada
saat yang lain disebut anak tunanetra.”
Konsep
diri merupakan hal yang penting yang harus disadari
penderita tunanetra sehingga penderita
tunanetra dapat memandang dirinya lebih bermakna
dan berharga, menutupi kekurangan dengan kelebihan yang akan membuatnya lebih
bersyukur dan bisa membuktikan pada dunia luar jika dirinya juga bisa hidup
mandiri seperti orang lain dengan kondisi fisik yang normal yang pada akhirnya
akan membentuk perkembangan kepribadian yang positif pada diri penderita tunanetra.
H.
Masalah
Ketunanetraan bagi Keluarga, Masyarakat dan Penyelenggara Pendidikan
Permasalahan yang ditimbulkan karena ketunanetraan saling berkaitan
sehingga ketika suatu masalah timbul sering kali menimbulkan masalah yang lain
sehingga penanganannya memerlukan penanganan yang tepat dan solusinya pun harus
berkaitan.
Menurut Somantri (2012: 87) “Dalam menangani
anak tunanetra perlu diupayakan melalui layanan pendidikan, arahan, bimbingan,
latihan dan kesempatan yang luas yang dilaksanakan secara terpadu dan multidisipliner
untuk mencegah jangan sampai permasalahan
tersebut muncul, meluas dan mendalam yang akhirnya akan merugikan perkembangan
penderita tunanetra.”
Permasalahan
individu tunanetra di sekolah menurut Hidayat (2006), yaitu:
a. Masalah
pengajaran mencakup kesulitan dalam proses belajar anak berupa kesulitan dalam menangkap pelajaran secara verbalistik, menggunakan
buku-buku, cara belajar baik sendiri maupun kelompok, kesulitan dalam memilih
metode belajar yang tepat, kesulitan dalam membaca dan menulis, keterbatasan
perabaan-pendengaran dan ingatan serta sarana yang diperlukan dalam proses
pembelajaran yang terbatas.
b. Masalah
pendidikan mencakup:
1) Awal : Menyesuaikan diri dengan lingkungan dan warga
sekolah.
2) Proses:
Mencari teman yang cocok, memilih kegiatan ekstrakurikuler sesuai bakat,
mendapatkan pembaca yang cocok, mendapatkan pembimbing yang cocok dan
lain-lain.
3) Akhir : Memilih suatu studi lanjutan, memilih latihan
kerja tertentu dan lain-lain.
c.
Masalah orientasi dan mobilitas serta
kebiasaan diri berupa masalah yang ada kaitannya dengan kesulitan
penguasaan ruang dan kemampuan gerak serta kebiasaan-kebiasaan hidup yang
kurang menguntungkan, misalnya kesulitan orientasi lingkungan baru.
d.
Masalah gangguan emosi berupa gangguan-gangguan emosi seperti mudah curiga terhadap orang lain,
mudah tersinggung dan mudah marah.
e.
Masalah penyesuaian diri berupa berubahnya konsep diri sehingga mereka merasa rendah diri karena
keterbatasannya.
f.
Masalah keterampilan dan pekerjaan berupa sulitnya mencari kecocokkan keterampilan individu tunanetra dengan
pekerjaan yang ada di masyarakat serta usaha-usaha pemilihan latihan-latihan
untuk keterampilan pekerjaan tertentu.
g.
Masalah ketergantungan diri berupa kurangnya kepercayaan terhadap diri sendiri.
h.
Masalah penggunaan waktu senggang berupa penggunaan waktu yang selalu dirundung kesunyian dan kesepian,
mengkhayal, menyendiri, tidur tak ada hasil dan sebagainya.
I.
Dampak
Ketunanetraan bagi Keluarga, Masyarakat dan Penyelenggara Pendidikan
Ketunanetraan memberi dampak yang tidak begitu baik bagi
keluarga. Salah satu contoh dampak ketunanetraan bagi keluarga, yaitu:
1.
Sebagian orang awam
(kurang mengerti) menganggap bahwa ketunanetraan yang terjadi pada anak
diakibatkan oleh dosa orang tuanya sehingga anak menjadi “wadal” dari dosa yang
diperbuat orang tua. Asumsi sebagian masyarakat tersebut seringkali dijadikan
bahan olok-olokan bagi konsumsi masyarakat.
2.
Sebagian orang
berpendapat pula bahwa ketunanetraan yang terjadi pada diakibatkan oleh
penyakit atau kelainan yang diderita orang tuanya, misalkan kedua orang tuanya
merupakan penderita tunanetra.
Dampak yang diakibatkan ketunanetraan bagi masyarakat,
yaitu ketidakpercayaan masyarakat kepada penderita tunanetra mengenai segala
aspek yang dimilkinya, seperti keterampilan, kelayakan untuk bekerja dan
lain-lain sehingga asumsi ini lebih merugikan penderita tunanetra.
Melalui sistem pendidikan yang lebih terbuka (segresi ke
integrasi hingga inklusif) memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi setiap
individu tanpa pandang bulu untuk mendapat pendidikan yang bermutu sesuai
kondisi dan kebutuhan masing-masing individu.
“Penyelenggara
pendidikan (guru PLB) menunjukkan cenderung lebih bersikap positif terhadap
anak tunanetra dibandingkan guru biasa yang tidak pernah berhubungan dengan
anak tunanetra khususnya di dalam kelas”,
(Murphy dalam Kirtley, 1975 dalam Somantri, 2012: 91).
Dampak yang diterima orang tua dari ketunanetraan anaknya
terkadang menimbulkan reaksi yang berbeda yang orang tua tunjukkan kepada
anaknya. Reaksi-reaksi tersebut dipaparkan Somantri (2012: 90), yaitu:
a. Penerimaan
secara realistik terhadap anak dan ketunanetraannya
Reaksi ini
ditunjukkan dengan pemberian kasih sayang yang wajar serta pemberian perlakuan
yang sama dengan anak lainnya.
b. Penyangkalan
terhadap ketunetraan anak
Reaksi ini
ditanggapi dengan sikap yang terbuka namun dengan alasan yang tidak realistik
terhadap kecatatan anaknya. Dalam pendidikan, orang tua seringkali tidak
percaya bahwa anak tidak perlu layanan pendidikan secara khusus dan menyangkal
bahwa akhirnya prestasinya rendah.
c. Perlindungan
yang berlebihan
Ketunanetraan
dirasakan sebagai akibat dari perasaan bersalah atau berdosa. Sikap ini
cenderung tidak menguntungkan anak karena akan menghambat perkembangan dan
kematangan anak terutama dalam kemandirian.
d. Penolakan
secara tertutup
Reaksi ini
ditunjukkan dengan sikap menyembunyikan anaknya dari masyarakat. Ia tidak ingin
diketahui bahwa telah memiliki anak tunanetra.
e. Penolakan
secara terbuka
Reaksi ini
ditunjukkan dengan sikap bahwa secara terus terang ia menyadari ketunanetraan
anaknya, tetapi sebenarnya secara rasio maupun emosional tidak pernah dapat
menerima kehadiran anaknya. Orang tua akan bersikap masa bodoh dan tidak peduli
dengan segala kebutuhan anaknya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tunanetra
artinya rusaknya penglihatan. Tes yang digunakan untuk mengetahui ketunanetraan
disebut snellen card.
Tunanetra
disebabkan oleh retrolenta fibroplasia (RLF)/
banyaknya bayi lahir prematur serta faktor internal (bawaan) dan eksternal yang lain (penyakit).
Pembendaharaan
kosakata pada anak tunanetra diperoleh dari dalam dirinya sendiri dan orang
lain.
Hambatan-hambatan
dalam perkembangan motorik anak tunanetra berhubungan erat dengan
ketidakmampuannya dalam penglihatannya yang selanjutnya berpengaruh terhadapa
faktor psikis dan fisik anak pada tahap-tahap perkembangan anak tunanetra
selanjutnya.
Perkembangan emosi anak tunanetra digambarkan Somantri
(2012: 82), yaitu:
Perkembangan
emosi anak tunanetra akan semakin terhambat apabila mengalami deprivasi emosi,
yaitu kurang memiliki kesempatan untuk menghayati pengalaman emosi yang
menyenangkan seperti kasih sayang, kegembiraan, perhatian, kesenangan, perasaan
takut, malu, khawatir, cemas, mudah marah, iri hati, dan kesedihan yang
berlebihan.
Perkembangan sosial anak tunanetra digambarkan Somantri (2012: 83-84), yaitu:
Perkembangan sosial anak tunanetra
banyak menghadapi masalah, baik masalah
yang disebabkan secara langsung maupun tidak langsung, seperti kurangnya
motivasi, kekuatan menghadapi lingkungan sosial, perasaan rendah diri, malu,
penolakan masyarakat, penghinaan, sikap tak acuh, ketidak jelasan tuntutan
sosial dan terbatasnya kesempatan belajar tentang pola tingkah laku yang
diterima merupakan kecenderungan tunanetra yang dapat mengakibatkan perkembangan
sosialnya menjadi terhambat.
Konsep
diri (pengetahuan, harapan dan penilaian) merupakan
hal yang penting yang harus disadari
penderita tunanetra sehingga penderita
tunanetra
dapat
memandang dirinya lebih bermakna dan berharga, menutupi kekurangan dengan
kelebihan yang akan membuatnya lebih bersyukur dan bisa membuktikan pada dunia
luar jika dirinya juga bisa hidup mandiri seperti orang lain dengan kondisi
fisik yang normal yang pada akhirnya akan membentuk perkembangan kepribadian
yang positif pada diri penderita tunanetra
Masalah-masalah
yang dihadapi anak tunanetra sangat beragam termasuk dalam ruang lingkup
pendidikan, sosial, emosi, kesehatan, pengajaran mencakup kesulitan dalam
proses belajar anak, orientasi dan mobilitas serta kebiasaan diri, gangguan
emosi, penyesuaian diri, keterampilan dan pekerjaan, ketergantungan diri dan penggunaan
waktu senggang.
Dampak yang diterima orang terdekat penderita tunanetra
akan dilimpahkan kembali kepada anak tunanetra, misalnya melalui reaksi-reaksi
orang tua terhadap ketunanetraan anaknya, yaitu penerimaan secara realistik
terhadap anak dan ketunanetraannya, penyangkalan terhadap ketunetraan anak,
perlindungan yang berlebihan, penolakan secara tertutup dan penolakan secara
terbuka.
B.
Saran
Setelah
mengetahui beberapa hal tentang ketunanetraan, penyusun memeberikan saran
sebagai berikut:
1. Setelah
mengetahui faktor-faktor penyebab ketunanetraan, sebaiknya keluarga, masyarakat
dan tenaga pengajar cepat tanggap dalam menanggulangi ketunanetraan berdasarkan
pada faktor penyebabnya.
2. Dengan
adanya kecenderungan anak tunanetra menggantikan indera penglihatan dengan
indera pendengaran sebagai saluran utama penerima informasi, maka untuk
meningkatkan kemampuan kognitif anak tunanetra bisa dilakukan dengan melatih
secara terus menerus kerja indera pendengaran sebagai pengganti indera
penglihatan.
3. Dalam
perkembangan perilaku kognitif, motorik, emosi, sosial, dan kepribadian anak
tunanetra, faktor keluarga menjadi faktor paling dominan, oleh karena itu
keluarga harus bersifat cepat tanggap dan penuh kepedulian dalam mengawasi
perkembangan setiap prilaku anak tunanetra.
4. Masalah
anak tunanetra berupa masalah pendidikan, sosial, emosi, kesehatan, pengisian
waktu luang, maupun pekerjaan. Semua masalah tersebut dapat diantisipasi dengan
memberikan layanan pendidikan, arahan, bimbingan, latihan, dan kesempatan yang
luas kepada anak tunanetra.
5. Akan
terdapat banyak dampak ketunanetraan bagi keluarga, masyarakat, dan
penyelenggara pendidikan, oleh karena itu sebaiknya tidak melakukan tindakan
penolakan yang berlebihan, agar anak tunanetra tidak mengalami frustasi.
DAFTAR PUSTAKA
Efendi,
Mohammad. (2006). Pengantar Psikopedagogik Anak
Berkelainan.
Jakarta: PT Bumi Aksara.
Fitriyah, Chusniatul & Rahayu, Siti Azizah. (2013). Konsep Diri pada Remaja Tunanetra di Yayasan
Pendidikan Anak Buta (YPAB) Surabaya. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Hidayat,
dkk. (2006). Bimbingan Anak Berkebutuhan
Khusus. Bandung: UPI PRESS.
Mestika, Puti Addina. Sarana
Bantu Atletik Lari Tunanetra dengan Sistem Kerja Line Follower. Bandung:
Institut Teknologi Bandung.
Rudiyati, Sari. (2009). Latihan Kepekaan Dria Non-Visual Bagi Anak Tunanetra Buta.
Yogyakarta: FIP UNY.
Salsabila, Anisa. (2013). Teknik Bimbingan Belajar bagi Siswa Tunanetra di Sekolah Inklusi
Madrasah Aliyah Negeri Maguwoharjo Depok Sleman D.I Yogyakarta. Yogyakarta:
Universitas Islam Sunan Kalijaga.
Somantri, Sutjihati. (2012). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT Refika Aditama.
Wardani,
dkk. (2011). Pengantar Pendidikan Luar
Biasa. Jakarta: Universitas Terbuka.
Semua Studi tentang Hambatan Penglihatan (Tunanetra)
BalasHapusMantap Makalahnya. Klik Link di bawah ini juga ya.
BalasHapusSemua Studi tentang Hambatan Penglihatan (Tunanetra)
Tidak ada referensi nya🥺
BalasHapus